Selasa, 22 Juni 2010

Part 6

GOOD DAYS OR BAD DAYS ?!

Hari – hari setelah hari itu adalah hari terindah dalam hidup Shin (menurut Shin waktu itu lho..!). Shin dan Reina resmi yang namanya jadian alias pacaran (dasar ABG!). Reina memberikan warna indah dalam hari – harinya (kayak krayon aja ya?). Kebosanan Shin hilang. Ke kafe, ke pesta, atau sekedar jalan – jalan tak lagi membuat Shin canggung, walaupun harus pergi tanpa Indra sekalipun. Shin tak dipeduli orang tuanya cuek atau gimana, asalkan ada Reina, Reina, Reina, dan Reina. Dunia milik berdua, yang lain ngontrak! Itu adalah istilah Indra kalau meledek Shin kalau sedang bersama Reina.
“Mau dicariin, Ndra?” begitu biasanya Shin membalas ledekan Indra. Bukan hanya itu, Pernah beberapa kali ketika pesta ulang tahun Indra yang ke tujuh belas, Reina sengaja mengajak teman – teman se-ganknya ke pesta itu dan mengenalkan beberapa diantaranya kepada Indra. Tapi, mau tahu jawaban Indra?
“Udahlah Rei, ntar kalau gw pilih satu ntar yang lain pada cemburu lagi… mendingan nggak usah milih..”
“Serius?” Shin dan Reina menyahuti kompak.
“Iya, ngapain gw milih – milih, yaa.. maksud gw.. mendingan semuanya aja sekalian. He…he…” Indra meninggalkan Shin dan Reina yang sudah siap – siap dengan jitakan mautnya. Dasar playboy cap gayung!!
Playboy? Shin pikir nggak juga. Indra memang dikelilingi cewek – cewek cantik yang selalu mengejarnya. Setiap Valentine atau acara lainnya kamarnya selalu banjir hadiah coklat atau kartu ucapan, undangan, yang seringkali Shin yang disuruh untuk menyingkirkannya. He…he… . Tapi walaupun begitu, “Betsu-ni kawannai - nggak ada yang Istimewa”. Selalu begitu jawabnya setiap kali Shin bertanya siapa diantara pengirim itu yang dia sukai. Dan lagi kalaupun jalan bareng cewek, ceweknya yang selalu ganti – ganti itu pasti dicuekin atau kalau nggak dikerjain.
Pernah waktu itu, Sarah, cewek satu sekolahan mereka yang sempat naksir Indra dan selalu mencoba mendekati cowok itu. Karena seringnya, Indra bahkan sampai bingung mengemukakan alasan apalagi untuk menolak ajakannya. Tapi, bukan Indra namanya kalau nggak punya akal. Mau tahu apa yang dia lakukan? Menerima ajakan itu, menentukan tempat janjian, dan…membayar seorang bencong untuk nemuin tuh cewek! Karuan aja gadis itu marah – marah. Yaaah.. tapi itulah yang namanya Indra. Paling – paling nyengir kalau diomelin. He..he.. emang enak dikerjain!

…………………..

Waktu berlalu begitu cepat. Dua tahun sudah hubungan Shin dan Reina berjalan dengan baik. Tak terasa ujian akhir sekolah semakin dekat. Shin mempersiapkan belajarnya dengan semangat. Bukannya karena apa – apa lho, tapi karena sang papa menjanjikan hadiah liburan ke tanah air mereka kalau nilai Shin memuaskan ketika lulus nanti!
“Ah, senangnya kalau Reina dan Indra juga ikut ke negeri sakura suatu saat nanti, kalau aku sudah bekerja. aku akan menunjukkan betapa indahnya Jepang saat musim gugur, di mana daun sakura berguguran dan betapa indahnya pemandangan musim semi, menunjukkan betapa indahnya Tokyo saat malam menjelang.” Pikir Shin melayang ke negeri sakura sana.
Manusia memang berencana, namun Tuhan jugalah yang menentukan. Semua cita – cita langsung pudar seketika ketika Reina menghilang selama dua dari sekolah. Shin mencoba menelpon, tapi nomor yang dihubunginya itu selalu tidak dapat dihubungi. Lalu ia mendatangi rumah gadis itu, tapi rumah itu kosong, tak ada siapapun. Shin gelisah. Kemana Reina? Kenapa tak ada kabar? Ada apakah gerangan?
Di minggu ketiga ketika kegelisahan dan tanda tanya Shin semakin memuncak, tiba – tiba sebuah kabar mengejutkannya, Indra dan se-antero sekolah. Reina muncul di sekolah dengan mengenakan kain lebar di kepalanya dan menutupi rambut panjangnya yang biasanya terurai dengan indah. Reina mengenakan jilbab!
Sebagian murid menyambut berita itu dengan baik dan senang, terutama anak rohis sekolah, tapi tidak bagi Shin. Dari kabar yang beredar, ternyata Reina baru kembali dari sebuah kota kecil di pinggiran Perancis, mengikuti ibunya yang sedang ada urusan pekerjaannya di sana selama dua minggu.
Meski belum mengerti dan mendengar langsung tentang apa yang telah terjadi dengan gadis manis itu, Shin tetap was – was dan cemas. Terlebih lagi karena Reina tak juga menemuinya di waktu istirahat hari itu, demikian juga saat istirahat siang.
Karena itu, akhirnya Shin memutuskan untuk langsung menemui Reina seusai sekolah sore itu. Shin berharap Reina sikap Reina tak akan berubah seperti cerita teman – temannya tadi pagi. Setidaknya walau ia tak akan berhasil membuat Reina kembali seperti semula (jilbabnya), tapi hubungan mereka tidak berakhir. Tapi, ternyata Shin keliru.
“Maaf Shin, kita nggak bisa nerusin hubungan ini.” jawab Reina ketika Shin menanyakan tentang perubahan sikapnya.
“Nggak Rei, aku nggak mau, I can’t.” Shin berusaha meyakinkan Reina.
“Harus, Shin.”
Shin menatap Reina dengan pandangan sedih. Hatinya terasa hancur berkeping – keping.
”Ok, aku nggak habis pikir, setelah sekian lama, setelah semua yang kita lalui, dan sekarang tiba – tiba kamu.. kamu berubah Rei. Please… jangan tinggalin aku Rei… I can’t live without you..”
“Shin.. Shin.. kamu nggak bisa hidup tanpa aku? Trus sebelum kamu kenal aku itu, berarti kamu bukan hidup dong..”. Reina tersenyum. Geli.
“Please Rei..”. Shin memandang Reina dengan tatapan memelas, tapi gadis yang dipandangnya itu langsung menunduk.
“Maaf, aku nggak bisa Shin.. kita sudah beda jalan.”
“What happened with you?”
“Nothing. Cuma.. kemarin aku baru pulang dari luar negeri, dan di sana aku ngeliat.. susah sekali untuk berislam apalagi wanita kayak aku, mereka dilarang berkerudung, ibadah.. dan aku di sini? Dari peristiwa itu aku berpikir.. di sini, di negeri ini orang Islam masih bebas, malah didukung.. tapi aku justru kok nggak ngejalanin ajaran islam.. “.
“Like that?” Shin menunjuk jilbab yang membalut kepala Reina. Reina mengangguk.
“Salah satunya.”
“Itu Cuma akan menyiksa kamu Rei, kamu nggak akan bebas lagi, terkekang, kamu cantik, kamu..”.
“Stop please Shin, justru inilah lambang kebebasan bagi wanita Islam, dengan pakaian seperti aku akan terbebas dari penilaian orang – orang yang selalu memandang wanita hanya dari fisiknya, dan justru ini melambangkan tentang kebebasan dalam berpakaian, bukankah itu yang disebut sebagai fashion?. Dan yang terpenting, pakaian ini justru akan membuat aku semakin aman. Shin.”.
“OK, Ok.... aku nggak akan melarangmu untuk itu Rei, tapi, please don’t leave me...”. suara Shin semakin serak.
Reina terdiam. Jauh di dasar hatinya sesungguhnya ia tak ingin menyakiti hati Shin, tapi ia sudah memilih jalan yang sudah lama sekali ia cari dan akhirnya baru sekarang hidayah itu bisa digenggamnya.
Ya, awalnya ketertarikan Reina hanyalah sebatas membaca buku. Tapi lama kelamaan hatinya semakin mengakui kebenaran islam. Beberapa kali dicobanya untuk berani menggenggam hidayah itu, apalagi setelah beberapa kali mengikuti diskusi di rohis sekolahnya. Tapi lagi – lagi ia goyah. Sekarang Ia tak akan kehilangan Cinta yang sebenarnya yang ia rengkuh saat ini. Cinta Allah. Ia tak akan mundur lagi.
“Aku tahu, tapi…”
“Tapi apa Rei? Japanese-jin dakara?” Shin trak sabar. Shin mencoba menyelami hati gadis itu.
“Nggak, sama sekali bukan.”
“Then?”
“Aku..aku… maaf, aku Cuma bisa bilang, semua ini adalah kesalahan, it’y my fault ! I.. ah, sudahlah Shin, kita akan tetap bersahabat, suatu saat kamu akan mengerti, dan satu lagi, kalau kita jodoh, pasti Allah akan berkehendak mempertemukan kita lagi,.. aku pulang dulu ya? Assalamu alaikum.”
Bayangan Reina terpantul oleh mentari senja yang perlahan akan meninggalkan bumi. Shin terenyuh. Hatinya diliputi oleh rasa ketidak percayaan dengan apa yang baru saja terjadi. Sebuah perpisahan yang singkat untuk mengakhiri pertemuan yang panjang. Sekian lama Reina mengisi setiap relung hati Shin, sekian lama menemani langkah Shin… sekarang akan … berpisah? Suatu hal yang tak pernah terbayang di benak Shin sama sekali. Shin rapuh.
“Itsumo aishiteru…!!”
Teriak Shin dengan suara yang hampir habis dan serak karena menahan sesak di dadanya. Suara itu menggema di sepanjang lorong sekolah. dari sudut matanya mengalir butir – butir bening satu demi satu. Namun, sosok yang semakin menjauh itu sedikitpun tak menoleh lagi ke belakang. Menjauh, menjah dan semakin menjauh, hingga akhirnya berbelok ditikungan dan menghilang dari pandangan.

……………………


Semua seperti di neraka, setidaknya itulah yang dirasakan oleh Shin setelah Reina memutuskan hubungan mereka. Semangat empat lima-nya Indra tak mampu menghiburnya. Berkali – kali Indra memperkenalkannya dengan teman – teman perempuannya, dari yang Indonesia asli, Indonesia campuran, sampai Jepang mania! (maklum, Indra kan belum berubah!). Tapi sekalipun Shin tak pernah tertarik. Shin tak mampu mengusir bayangan Reina yang menurutnya kian hari semakin menjauh darinya. Reina memang tak pernah membedakan teman, Shin menyukai sifat yang seperti itu, tapi itulah yang dia lakukan terhadapnya sekarang!. Reina tak lagi mau pergi dengannya berdua ataupun plus Indra, Reina hanya menemui Shin jika hanya ada perlu, Reina… dan segudang lainnya yang membuat Shin terluka. Seandainya waktu dapat kuputar kembali, Shin bergumam sendiri.
Hingga malam itu..
Shin dan Indra sedang dalam perjalanan pulang dari acara perpisahan sekolah malam itu. di tengah perjalanan, tiba – tiba Shin yang mengemudikan mobil memutar arah dengan cepat dan seperti tak terkendali. Indra tersentak kaget. Rasa ngantuk yang tadi menyerangnya tiba – tiba hilang melihat perubahan drastis pada wajah sobatnya.
“Mau kemana?”
Shin tak bergeming. Ia tetap memacu mobil sedan keluaran terbaru itu dengan kecepatan tinggi. Indra menarik napas panjang.
“Doko iku-no?” tanya Indra sekali lagi, kali ini dengan nada suara yang agak tinggi. Shin menoleh dengan tatapan dingin.
“Go to the hell. Ha..ha..” tawanya menggema dan hilang ditelan kegelapan malam.
Indra menatap Shin.
“Shin, nggak ada gunanya. Lu mau kemana? Lu nggak bisa terus kaya gini.”
“You tahu apa? Ha?!”
“Tau, gw tau yang elo rasain. Patah hati!”
“Lu nggak tau, lu nggak pernah ngerasain. You know that?!”
“Iya, tapi nggak begini caranya. Lu mabuk – mabukan, malasa – malasan, itu Cuma ngerugiin kamu sendiri. Perbuatan pengecut!”
“What?!”, Shin berpaling dari kemudinya. Matanya menatap Indra dengan tajam, “What you said?”
“Pengecut!” tantang Indra berani.
Shin semakin kesal. Dengan kesal ditambahnya kecepatan mobil itu.
Setelah puas menumpahkan kekesalannya. Akhirnya mobil itu memasuki halaman parkir sebuah diskotik. Indra tak bisa mencegah ketika cowok itu turun dengan membanting pintu
Indra sadar ia tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menunggu dan menemani Shin, agar tak terjadi apa – apa pada sobat karibnya itu. Indra sendiri sebenarnya cukup bingung. Indra tak tahan melihat kesedihan Shin.
Berkali – kali Indra mencoba mendatangi Reina agar berbaikan lagi dengan Shin, tapi ia tak berhasil. Sementara orang tua Shin seperti tak menyadari atau tak mau menyadari perubahan yang Shin alami. Sedangkan untuk memberitahu orang tuanya atau orang tua Shin?, Indra tak punya cukup keberanian. Ia tak bisa berbuat apa-apa untuk sahabat yang disayanginya itu. Indra hanya bisa berharap, waktu akan menghapus semua kepahitan ini dan mengembalikan sahabatnya seperti dulu lagi. Ia rindu masa – masa itu. Tapi, ternyata waktu tak seperti diharapkan Indra. Puncaknya Shin memutuskan untuk meninggalkannya alias kembali ke Jepang!
“Ikitai.” Ucapnya dengan wajah dingin.
“Shin, lo serius mau balik ke Jepang? how about me?”
Shin hanya mengangguk, lalu diam.
”Kalau ortu lu pindah, tapi lu kan bisa tinggal sama gw..aku nggak yau kemana kau harus nyari sahabat kayak lo Shin, koko-ni ite..” sekali lagi Indra menanyai Shin yang duduk di ruang tunggu pesawat yang akan membawanya kembali ke negeri sakura itu. Lima hari yang lalu Shin mengutarakan itu kepada Indra. Kebetulan juga tugas orang tuanya sudah selesai di Indonesia.
Shin tertunduk. Shin sebenarnya tak ingin pergi. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Shin tak akan bisa melupakan semua kenangannya bersama Indra. Tak ada yang bisa menggantikan Indra. Tapi, pedih ini, hati ini.. ah, apalagi yang harus ia lakukan selain meninggalkan kepedihan ini, kepiluan ini, selain meninggalkannya dan memendamnya dalam-dalam? Kenangan pahit itu telah menutup segala kenangan manisnya selama di negeri ini..
Shin semakin tertunduk. “Ya, ndra, I m so sorry, gw nggak akan ngelupain lu”. Ucap Shin lirih.
Indra terlihat pasrah mendengar keputusan itu, lalu, “ Sabishikunaru-yo”
“Aku juga.”balas Shin lirih.
“Ki-o-tsukete-ne”
“Ok, thanks. Ja mata-ne” Shin memeluk Indra dengan erat, lalu menyalami Ibu dan ayah Indra yang berdiri tak jauh dari mereka, lalu mengikuti orang tuanya meninggalkan ruang tunggu, menuju pesawat yang kan membawa mereka kembali ke tanah air. Membawa kepedihan di hati Shin. Dari Jakarta ke Jepang.

………bersambung ke bagian 7………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar