Sabtu, 19 Juni 2010

PART 3

HARI ISTIMEWA

Fajar mulai menyingsing. Mentari mulai secara perlahan mengintip dari kejauhan di ufuk timur kota Jakarta, untuk menggantikan rembulan yang kian memucat dan semakin menghilang adri peredarannya. Shin sudah berdiri di depan kamar Indra walupun dingin masih menggigit. Dirapatkannya Sweater rajutan tangan berwarna coklat yang membalut kulitnya yang putih. Shin segera mengetuk pintu di depannya perlahan.
Tok! Tok!
“Ndra, hello…”. Sahut Shin.
Tak ada sahutan. Apakah Indra masih tidur?, pikirnya sambil memutar kenop pintu perlahan. Pikiran jahil berkelebat dibenaknya. dilangkahkannya kaki perlahan. Shin ingat, Dulu Indra sering melakukan ini padanya. Menyelinap diam – diam, lalu menyiramnya sampai ia bangun, lalu.. kabur!. Shin segera bergegas memasuki kamar itu perlahan. Tujuannya adalah.. kamar mandi!.
Baru beberapa langkah Shin melangkahkan kaki, mendadak langkah Shin terhenti. Indra? Shin terpana memandang pemandangan di depannya. Pikiran jahil Shin hilang seketika, berganti wajah bingung. Apa yang dilakukan Indra?. Di depannya wajah Indra begitu teduh dan tenang. Indra berdiri, lalu membungkuk, lalu mencium lantai, dan mengulangi lagi. Entahlah, Shin tak mengerti apa yang dilakukan sahabatnya. Akhirnya ia putuskan untuk menunggu sambil melihat – lihat deretan koleksi buku Indra yang tersusun rapi di kamar itu sampai suara Indra mengagetkannya.
“Shin…? Sudah lama?”
Shin berpaling. Di belakangnya Indra sedang menatap Shin. Shin buru buru meletakkan buku yang digennggamnya kembali ke rak.
Shin mengangguk. Indra tersenyum.
“Apa yang barusan?”. Tanya Shin, ingin tahu.
“Sholat”
“Shalat?”
“Ya, Shalat, aku sedang menghadap Allah”
“Who is Allah?”
“Allah is the god. Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang menciptakan langit dan bumi ini.”
Shin kelihatan bingung, “ Do-iu imi?”
“Ok, shitteru.. aku aku akan jelaskan.”
“Yang tadi aku lakukan adalah salah satu yang diwajibkan oleh agamaku. Islam.”
“Ha?! Aku nggak pernah tahu, apa itu ritual baru? You have new god? Islam? What happened?” Shin menatap Indra tak mengerti.
Indra tampak menyembunyikan ekspresinya atas pertanyaan itu. ia lalu memandang Shin dengan lembut, berharap sahabatnya itu akan mengerti apa – apa yang akan dikatakannya nanti. Ia lalu menarik napas panjang, mencoba menyusun kata – kata untuk menjelaskannya kepada Shin.
“Ya, itu sebenarnya bukan agama yang baru untukku, hanya saja selama ini aku nggak tau tentang keindahan agama itu, tentang kewajiban – kewajibannya, seperti Shalat..”
“Every day?”
“Every day”
“Merepotkan.”
“No.” Jawab Indra tenang. Kening Shin semakin berkerut.
“No?”.
“Yeah, aku nggak repot sama sekali kok, hm.. gini aja, kalau kamu dikasih sesuatu yang sangat berharga, apa yang akan kamu lakukan untuk membalas kebaikan itu?”
“Ya.. say thank’s. Semua juga tahu, anak kecil aja tau!”. jawab Shin menirukan sebuah iklan di tivi yang dulu kerap di dengarnya.“Trus apa hubungannya?” lanjut Shin sedikit jengkel dengan pertanyaan Indra.
“Begitu juga dengan Allah, sang Pencipta, Dia yang memberi kita hidup sekian puluh tahun, bahkan ada yang ratusan tahun, ngasih oksigen buat bernapas, dan hasil – hasil bumi untuk dimanfaatkan. Apalah artinya lima atau sepuluh menit, atau se-jam sekalipun yang kita gunakan untuk menyembahnya, salah satu ungkapan syukur kepada-Nya ya dengan shalat, kalau dibandingkan dengan apa yang diberikannya kepada kita, bayangin aja, napas, tubuh, dan semuanya kita dapet, masak kita nggak makasih? Kalo kamu mikirnya gitu, pasti nggak akan merasa repot.”
Shin terdiam. Kepalanya berusaha mencerna kata – kata yang keluar dari mulut Indra.
“Demo…”
“Ok, ya sudah, sore-wa ato-de haraca. Ok? Sekarang aku siap – siap dulu ya? Kamu udah dapet batiknya kan dari ibu?”
Shin mengangguk, lalu keluar dengan wajah bingung. Indra mengerti kebingungan sahabatnya itu. Dulu Shin memang tak pernah melihat hal ini. Ia akan menjelaskannya tentu, tapi bukan sekarang. Indra duduk sebentar di meja kerjanya. Sejak Shin datang, ada sesuatu yang mengganjal di kepala Indra. Ia heran dengan sikap Shin. Kenapa Shin seperti tak mengerti apa – apa dan seakan benar – benar baru mengetahui setiap lembar perubahan pada dirinya? padahal selama ini ia begitu rutin menuliskannya di dalam setiap suratnya? Ataukah surat itu tak pernah sampai di tangan Shin?.
…………………..

Shin baru selesai berganti pakaian, ketika Indra menghampirinya.
“Yoi dekita?”
Shin mengangguk, lalu meneliti dari ujung sepatu sampai rambut Indra, yang sempat membuat Indra salah tingkah. Setelan hitam putih dan jas tersampir di lengannya. Rambutnya tersisir rapi. Tak ada yang istimewa, kecuali wajahnya yang tampak bercahaya dan bersih itu Pakaian pengantin yang sederhana, itu pendapat Shin. Shin sendiri mengenakan setelan batik berwarna biru yang diberikan ibu Indra. Batik seragam yang dipakai oleh semua keluarga pengantin, katanya.
“WAOWW, nice!” Shin berdecak kagum dengan penampilan sahabatnya itu. Keduanya lalu beriringan menuju ruang makan untuk makan pagi.
Setelah sarapan, merekapun berangkat Bersama keluarga Indra menuju sebuah bangunan yang cukup besar yang di depannya sempat ia baca papan bertuliskan Masjid. Dengan ketidak mengertiannya, Shin ikut melangkahkan kakinya memasuki bangunan sederhana, yang namun terlihat megah itu.
Di dalam ruangan bercat putih bersih itu Shin dan Indra di sambut beberapa orang yang telah hadir yang akhirnya diperkenalkan Indra sebagai teman – temannya di lembaga dakwah kampusnya – entah apa itu, Shin tak mengerti—kepadanya. Shin lalu menatap garis pembatas seperti tirai yang melintang, membagi dua di tengah ruangan itu.
“ Itu hijab”, jawab Indra membaca kerutan kenng Shin.
“Nani?! Hijab? What’s that?” Shin makin bingung.
“Batasan yang memisahkan tempat duduk lagi – laki dan perempuan.”
Shin melongo. Acara pernikahan macam apa ini? Aneh! Shin tak habis pikir. Untunglah, tak lama kemudian iringan keluarga pengantin wanitapun tiba.
Shin memutarkan kepalanya tepat sesaat sebelum sosok pengantin yang membuatnya penasaran itu menghilang di balik pembatas atau hijab. Shin semakin tak mengerti, Apa lagi ini Indra?
Akhirnya rombongan pengantin wanita tiba. Shin memalingkan wajahnya untuk melihat wanita yang akan diperistri oleh sobatnya itu. Sekilas.. hanya sekilas, tapi ia bisa melihat sosok pengantin tadi. Seorang wanita sederhana yang mengenakan gaun putih sederhana yang longgar dan panjang menutupi seluruh tubuhnya yang semampai dan… jilbab putih lebar yang menutupi rambutnya!.
Serentak Rasa benci itu hadir kembali di hati Shin. Semakin tebal dan semakin terasa menutupi hatinya. Shin memandang Indra dengan tatapan semakin tak mengerti dan kesal, itukah calon istrimu Ndra? Bukankah Indra seharusnya tahu kalau ia sangat membenci kerudung itu? bukankah Indra tahu, kerudung itulah yang telah menggoreskan luka yang sedemikian dalam di hatinya? Luka yang masih meninggalkan bekas hingga saat ini? Lalu.. sekarang istri, eh calon istri Indra seorang gadis berkerudung!.
Sekali lagi Shin memalingkan kepalanya ke tempat pengantin wanita itu. Lalu… serentak Shin terperanjat. Gadis itu! Siapa gadis yang juga berkerudung yang di samping pengantin itu? Bukankah itu… Rei …Reina!?
Shin ingat, kemarin Indra pernah bilang, kalau calon istrinya adalah temannya Reina. Tapi, Shin tak pernah berpikir akan bertemu lagi dengan gadis itu di sini. Mengapa Indra tak memberitahunya bahwa Reina juga datang? Dada Shin langsung bergemuruh. Seketika kepahitan masa lalu langsung tergambar jelas di kepala Shin, masa lalu yang begitu pekat…
………bersambung ke Part 4………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar