Senin, 21 Juni 2010

Part 4

SEPENGGAL EPISODE LAMA

Dengan setengah berlari Indra menghampiri Shin yang masih duduk memandang tempat duduk taman beberapa meter dari lapangan bola sekolahnya. Sejak orang tuanya memindahkan Shin ke sekolah Indra waktu SMP dulu (sejak pindah dulu, waktu itu umur Shin 13 Tahun), setiap hari Indra selalu mengajak atau tepatnya memaksa Shin ikut latihan sejak mereka masih SMP dulu, hingga sekarang mereka SMA. Bahkan, Indra merekomendasikan Shin kepada ketua klub dan akhirnya sekarang berhasil memasukkannya jadi anggota resmi klub. Katanya sih, Shin sebenarnya permainan bola Shin cukup bagus, Cuma sayang.. nggak pernah diasah! (golok kali ye..pake diasah segala! He..he..). !
“Shin, ayo… let’s go!.”ujar Indra sambil memberi isyarat untuk segera bangun.
“Ok, one minute please.” Jawab Shin.
Mata Shin seperti tak bisa melepaskan pandangan dari sudut taman itu. Bukan tempat duduk itu yang menarik perhatiannya, melainkan sosok yang duduk dan sedang membaca buku di bangku taman itu. siapa lagi kalau bukan.. Reina !
Reina, gadis itu yang menarik perhatian Shin sejak awal mula ia masuk SMA . Tapi mereka tak pernah sekelas, sehingga Shin tak pernah berkesempatan mengenal gadis itu lebih jauh. Setiap sepulang sekolah, gadis itu selalu menghabiskan waktunya di taman itu. entah membaca, mengerjakan tugas, ataupun membuat dekorasi untuk mading sekolah bersama teman – temannya. Reina cukup tenar di sekolah ini. Seperti Indra, wajah oke, prestasi tokcer, Materi cukup, dan pimred majalah sekolah, dan bermacam – macam kriteria lainnya yang membuat gadis itu selalu memiliki nilai lebih daripada murid lainnya.
“What are looking for?” Indra ikut – ikutan melihat ke arah sudut taman itu. Shin langsung memalingkan wajahnya, pura – pura memandang ke sudut lain. Gawat, kalau Indra tahu Shin bisa di ledek habis – habisan!! Shin tahu betul sifat usil sobat yang baru beberapa bulan dikenalnya itu!
“Nothing”.
“O… Reina ya?” Indra bergumamam. Shin reflek menoleh. Wajahnya memerah menahan malu. Oo… gawat! Tuh, kan?
“Nani itten-no?”
“Reina.”
“Reina? Who is she? your girl?” Shin masih pura – pura tidak tahu dengan maksud Indra.
“Alaah, pura – pura telmi lu Shin, gw samber baru tau rasa lo… ngaku deh sama gw.” Indra melempar bola yang dipegangnya kepada Shin. Shin langsung menangkapnya sebelum bola itu mampir di keningnya, alias benjol!.
“Yang bener aja ndra, She is beautifull..kawaii.. atama-ga ii-ne, popolar, baik, ramah, like you..”
“And you?”
“Stop it please!”
“STOP please? tuh kan? So-nano? bener juga tebakan gw.” Indra mengerling jahil.
“Tebakan apa? apaan sih. Uso-bakkari!.” Shin menarik Indra menuju lapangan. Dari jauh sekali lagi ia memperhatikan sosok semampai itu beranjak dari duduknya ketika segerombolan cewek yang tak lain adalah teman se-gank Reina menghampiri dan menarik tangan gadis itu meninggalkan tempat itu. mungkin ke kantin sekolah, atau pulang.
Sejak hari itu perhatian Shin selalu tertuju ke taman itu. setiap latihan sepak bola, selalu ia sempatkan menoleh ke sudut itu. tapi, ia tak pernah punya keberanian menyapa, apalagi untuk mendekati sosok berambut hitam panjang itu.
Hingga suatu hari, entah sengaja atau tidak, bola yang di tentang Indra melesat ke taman itu. Entahlah, Indra yang biasanya selalu menendang dengan tepat walau jarak jauh sekalipun, tak pernah meleset, apalagi keluar dari lapangan. Shin memandangnya curiga ke arah Indra, takut – takut si biang jahil itu mengerjainya. Tapi lagi – lagi Indra hanya cuek dan Shin-lah yang kena batunya karena berada paling dekat dengan jarak taman dibandingkan teman – teman lain yang hanya beberapa langkah dari tempatnya berdiri, tapi itulah peraturannya yang berlaku kalau soal mengambil bola. Sebel, gerutu Shin dalam hati.
Shin segera bergegas menuju taman tempat bola iseng Indra menghilang. Langkahnya semakin tak teratur dan semakin tak karuan ketika taman serta bayangan Reina semakin dekat. Matanya menelusuri setiap sudut taman, seperti orang kebingungan. Berharap bola itu dapat ia temukan lebih cepat tanpa harus berlama – lama di sana, ia malu bertemu dengan Reina dalam keadaan muka memerah begini!. Tapi tampaknya bolapun berkompromi dengan Indra menjahilinya. Beberapa saat telah berlalu, tapi tak juga terlihat oleh Shin, sementara Reina mulai tampak memperhatikan gerak geriknya. (bukannya GR lho..!).
“Kamu Shin kan? Yang aslinya dari Jepang itu?” Sebuah suara halus membuatku terhenti sesaat. Shin terperangah. Reina mengenalnya?
Shin mengangguk pelan. Lalu kembali melanjutkan pencariannya.
“Can I help you?”
“Ng..ng..no, thank’s.” Tolak Shin terbata - bata. Ia tak ingin merepotkan Reina. Shin melanjutkan mencari di bawah pohon kecil beberapa meter darinya.
“Can I help you?” sekali lagi Reina menawarkan bantuan.
Shin menggeleng, lalu melanjutkan pencariannya kembali. Sementara itu, Reina hanya menggeleng – gelengkan kepala.
“Helloo.. Shin.. sampai kapan juga nggak akan ketemu, tuh! bolanya, nyangkut di pohon.”
Aktivitas Shin terhenti seketika. Shin melihat ke arah Reina yang sedang menunjuk ke atas pohon kecil di sampingnya. Shin sebal. O.. my God! Kenapa aku tak melihat dari tadi?, gerutu Shin dalam hati.
“O… thank you. “ Shin segera mengambil bola itu dengan sedikit melompat dan berlari sekencang – kencangnya menuju lapangan. Tak dihiraukannya tatapan heran Reina yang mengikuti langkahnya tak mengerti (heran sama muka Shin yang udah kaya kepiting rebus kali yee.. merahnya). Tapi Shin tak peduli. Yang ada dipikiran Shin sekarang hanya satu nama.. Indra…!!!! (bakalan ada perang saudara nih kayaknya! He.. he..).

……………………….

Tidak seperti biasanya yang selalu pulang dan pergi bersama bak anak kembar (lain ibu, beda bapak, lho?!), pagi ini terpaksa Shin berangkat tanpa Indra ke sekolah. Tadi saat ia menjemput Indra, sobat kentalnya itu masih bertapa di pulau kapuk alias tidur, dan katanya sih akan datang agak terlambat. Jadilah Shin bersolo karir, eh, berjalan kaki sendirian. He..he.. 
“Hi.. Shin, sendiri?”
Shin berhenti sesaat sebelum menoleh ke arah suara yang menyapanya pagi itu sesaat ia akan memasuki gerbang sekolah. Otak Shin langsung bekerja, Rasanya suara ini pernah terdengar di telinga Shin, Tapi di mana ya? Kapan Shin pernah mendengarnya ya?. Shin berpikir. O… my god, Reina!!
Jantung Shin terasa akan copot! Shin menoleh dengan agak gugup. Tampak di sampingnya Reina mensejajari langkahnya. Rambutnya yang panjangnya yang sedikit kecoklat - coklatan diikat dengan manisnya dengan jepitan berwarna kecoklatan. Persis seperti warna daun sakura yang berguguran ketika musim gugur. Manis sekali, pikir Shin. Pikirannya melayang ke negeri sakura sana. Dulu ia sering membantu ibunya mengumpulkan daun sakura kalau musim gugur tiba. Daun itu akan dijadikan hiasan kartu ucapan atau sebagai pelengkap hiasan dinding. Tapi itu dulu, sebelum ibunya sibuk dan ikut menegelola perusahan keluarga mereka. Sekarang, ibunya tak lagi punya waktu untuk itu.
Jantung Shin semakin berdegup kencang, apalagi ketika Reina terus mensejajari langkahnya.
“I..iya” ucap Shin gelagapan, dan akhirnya hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.
“Indra mana?” Tanya Reina.
“Indra.. Indra terlambat. Dia susah tidur tadi malam.” Shin terbata – bata.
“O… padahal semalam dia nelpon aku, He called me last night, katanya mau pinjam catatan, makanya aku disuruh datang pagi gini, this is!”. Reina menunjukkan sebuah buku yang tersampul rapi dengan kertas berwarna biru lembut yang dikeluarkannya dari dalam tas mungilnya, “Can u help me?”
Shin mengangguk. Reina menyerahkannya kepada Shin. Shin mengulurkan tangan menerima buku bersampul biru itu dengan perasaan tak menentu. Tak dihiraukannya lambaian tangan Reina yang menghilang dari balik pintu kelasnya. Pikiran Shin langsung melayang pada orang yang akan ia kasih buku itu. Ada dua prasangka yang berkelebat di benak Shin. Pertama, mungkinkah Reina suka sama Indra atau sebaliknya? Dan kedua, Shin ingin berteriak.. Indra!!! Uso-bakkari!! Sekali lagi Shin dikerjain!
Tepat lima menit sebelum bel, Indra datang dengan wajah rasa tak bersalah. Shin tak peduli, ia langsung menghampirinya. Tapi sebelum menemui Indra, Shin memastikan dulu wajahnya tak merah. Shin sendiri kadang tak habis pikir lho kalau lagi nonton iklan pemutih atau kosmetik apalah namanya, kenapa ya cewek Indonesia pada pengen punya muka or kulit yang putih? Padahal kalau menurut Shin, punya kulit putih tuh nggak selalu enak lho, banyak juga nggak enaknya… apalagi kalau lagi malu, ketahuan banget pipinya memerah! Indra cengar – cengir melihat ekspresi Shin. Indra tahu Shin sedang menahan ekspresi biar mukanya nggak memerah. Tuh kan, nggak salah lagi, pasti dia biang keroknya, pikir Shin kesal bercampur lega atas dugaan pertamanya yang mungkin akan meleset. Sebaliknya ia semakin bertambah yakin dengan dugaan ke-duanya!.
“What happened, Shin? Pagi yang cerah ya… hm…” Indra merentangkan tangannya seperti orang yang sangat menikmati udara pagi ini, kayak iklannya Jihan Fahira itu lho! (ngaco deh Shin). Ini dia nih salah satu sifat Indra yang Shin sebelin dari dulu, Jail!.
“Do iu- imi?”
”Apa? Nggak ngerti ah, Indonesia dong! Indonesia! Cintailah produk dalam negeri” Indra menirukan iklannya Deddy Mizwar itu. Shin semakin kesal.
“Ok.. Ok.. maksud kamu apa?”
“Maksud apa? O O… abis ada badai ya tadi” tuh kan… ihhhh! Pengen deh Shin sekali – kali nonjok sahabatnya itu.
“Eit, mau nonjok ya? Ayo, kejar…. Ayo..”. Indra berlari menuju pintu kelas.
Tuh kan? Awas ya, gw kejar lu sampe ke ujung dunia !. Shin bersiap mengejar. Se-isi kelas mulai heboh (kayak lagi ngedukung petinju jagoannya aja ya?) dengan tingkah Shin dan Indra yang mulai siap tempur. Tapi belum sampai langkah Shin di depan pintu, wajah Indra kembali muncul dengan cengiran khasnya dan tersenyum penuh kemenangan yang membuat Shin makin kesal. Shin bersiap menyerang, tapi Indra cuek aja!. Shin tambah kesal. Tapi beberapa detik kemudian.. O..o.. pantesan, orang di sampingnya ada Pak Sentot, guru pengajar Fisika yang paling killer di kelas mereka! Shin semakin geram. Selama pelajaran berlangsung mukanya ditekuk sedemikian rupa (emangnya lutut apa ya bisa di tekuk). Kesel banget! Sedangkan Indra? Nyengir… !!

…………Bersambung ke part 5………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar