Jumat, 18 Juni 2010

Part 2

WAKTU BISA MERUBAH SEGALANYA, SHIN..

Itu dulu, lima tahun yang lalu. Sekarang.. dalam usia dua puluh dua tahun Indra akan menikah di negerinya ini, Indonesia! Huu…huu…hu.. Dua puluh dua tahun men!!. Sulit terbayang di kepala Shin. Indra yang dulu menjadi kapten klub sepak bola, Indra yang terkenal dengan prince charming-nya di SMU mereka dulu, Indra yang memiliki otak encer, Indra yang menjadi kapten sepak bola, yang kerap kali mengalahkan Shin bertaruh dalam lomba mengumpulkan supporter di sekolah setiap kali klub sepak bola mereka akan bertanding (sebenernya sih kalau masalah tampang Shin nggak kalah, tapi Indra orangnya lebih berani, nekad!), Indra, tidak seperti Shin yang pernah patah hati. Shibui, atama-ga ii-ne, kawaii, benar – benar Perfect. Shin tak habis pikir, Apa yang dipikirkan sahabatnya itu? Shin hanya bisa bengong ketika lima hari lalu Indra menelphonnya di Osaka…
“Ndra, jodan daro?”. Shin menanyai Indra sekali lagi. Ia masih ragu dengan pendengarannya.
“No, I m serious. So, makanya aku memintamu datang ke Jakarta”. Aku? Kamu? Sejak kapan Indra ber-aku – kamu? Bukannya ber-elo-gue? What happened with you?, Shin jadi bingung ketika menyadari perubahan gaya bicara Indra. Ah, waktu kan bisa merubah seseorang , lagipula itu kan Cuma bahasa aja!, pikir Shin.
“Sore-o kiite ureshii. But.. You called me one week before your wedding?”. Tanya Shin masih dengan rasa tak percaya.
“I m sorry, friend”.
“How about our agreement?”
“Then… the bride?”
“Beautifull?”
“Where is she?” serbu Shin bertubi - tubi.
“Duh.. shin.. stop please... kamu sedang bertanya atau mengintrogasiku? Bingung nih!. One by one. Ok?”
“Ok.”
Sesaat kemudian Indra terdiam. Lalu..
“I m really sorry, prosesnya memang agak cepat dan aku nggak pernah lupa sama janji kita dulu, kalau kamu nikah, aku yang akan nyiapin pestanya, kalo aku nikah, kamu kan yang nyiapin pestanya?, so-nano?”
“Huu…. You called me too late, gimana bisa aku nyiapin pesta? Eh, aku bisa nyiapin pesta untuk kamu dalam waktu tiga hari? Three days Ndra! Aku harus ke Jakarta, trus sibuk ngurusin ini - itu, pesen ke sana - sini, in three days?”
Gila, Indra Ada-ada saja!
“Shin, aku hargai niat baikmu, thank’s very much.. but she is different.”
“Different? Nani-ga chigau-no?”
“Dia.. dia ingin pernikahannya sederhana aja kok, nggak neko - neko. Kamu mengerti kan?”
“No party?”
“Yup! No party. Cuma acara sederhana, ramah tamah aja, acara kecil – kecilan.. dan Cuma ngundang kerabat dekat aja kok”
Nani???!! Apa lagi ini Ndra?. Shin melongo. Mana ada pernikahan seperti itu?.
“Ndra, dari dulu kamu selalu punya kejutan, but I don’t like this...”
“I m sorry, my friend.”
“Aku penasaran seperti apa sih istrimu yang sok sederhana itu? how she look like?”
“Eit, Makanya.. penasaran kan? Udah cepetan aja dateng ke sini, biar kenalan, ok?”
“Ja mata-ne.” Shin meletakkan telepon dengan sedikit kesal. Huu…Indra. Ada – ada saja tuh anak, pikir Shin. Tapi… Indra berhasil juga membuat Shin penasaran, seperti apa sih Indra sekarang? Dan seperti apa calon istrinya Indra itu? Apakah secantik Clara yang dulu sering ia ceritakan ketika Shin baru kembali ke Osaka? Atau secantik Reina yang sempat membuat Shin seperti orang gila? Atau Maya yang manis dan pintar? atau nama – nama lainnya yang sempat mampir di telinga Shin dulu?
“Shin..!! “ sebuah suara bariton yang dulu akrab di telinganya mengagetkan sosok berwajah Jepang itu. Shin mencari sosok yang memanggilnya. Lalu lalang orang yang lewat di depannya membuat Shin kesulitan mencari asal suara itu. Tapi kemudian matanya tak berkedip menatap sosok didepannya. Indra!.
Seingat Shin, dulu waktu SMA Indra adalah orang yang paling susah diatur, apalagi yang namanya soal pakaian dan rambut! Seringkali Shin memarahi Indra. Pernah dulu, Indra datang ke pesta ulang tahun Shin dengan jeans kumalnya, trus rambutnya dicat nggak karuan?. Tapi sekarang yang di hadapannya? Oh, no!, bukan lagi Indra yang seperti itu. Tapi, Indra dengan setelan kemeja rapi, rambutnya yang dulu sering diwarnai kini tampak hitam, tampak jauh lebih dewasa !!. Wow!, Shin berdecak kagum melihat penampilan Indra. Tapi kenapa Indra sendiri ya ? mana calon istrinya?, pikir Shin.
Shin segera menghampirinya.
“Genki data*? Sudah lama?”
“ Hm… Genki, belum.” Mata Shin kembali mencari – cari sosok yang membuatnya penasaran. Hati Shin bertanya – Tanya, who is she, Ndra?
“ Hei..mencari calon istriku?”
Hm…malu deh ketahuan. Shin mengangguk.
“He eh! Where is she?”
“Tuh kan kamu penasaran, sabar dong Shin… tomorrow.”
“Besok? Besok kan pernikahaanmu? Saat pernikahanmu?”
Indra mengangguk.
“Good!” Shin sebal. Dari dulu Indra memang selalu penuh kejutan untuknya, tapi ia tak menyukai yang ini,” What is her name?".
“Putri Maharani, asli Sunda, sundanese.”
Sundanese, Shin masih ingat dengan kata-kata itu. Sunda adalah salah satu nama suku di Indonesia. Dulu Shin juga belajar sejarah Indonesia waktu SMA lho! (Walaupun Japanese, nilai sejarah Indonesia nggak pernah kurang dari delapan ! so smart!).
“Beautifull?”
“Kamu ini.. selalu saja, nggak pernah berubah, ga boleh liat yang cantik dikit aja. Ayo…!” Indra menyeret tas Shin yang ada di depannya. Shin mengikutinya.
“Ok, sekarang kita mau kemana dulu nih? Ke kafe tempat kita nongkrong dulu waktu SMA? Atau mau ke kafe milik teman papa? Nih, alamatnya dari papa, nggak jauh kok dari sini” tanya Shin.
Indra memandang Shin sesaat, lalu menggeleng. “Tidak, kita langsung pulang aja, ibu, niniek, datuak, udah nungguin kita di rumah, ok?.”
“Niniek? Datuak?”. Shin melongo.
“My grandfather and grandmother.”
“O…Ok deh kapten..!”
Shin mengikuti langkah Indra yang melangkah ke tempat parkir dengan tak banyak bicara. Tapi diam – diam Shin menyimpan pertanyaan atas perubahan dalam raut wajah sahabatnya ketika menjawab pertanyaannya yang kedua terakhir tadi. Ada yang berbeda yang terasa di hati Shin pada Indra. Tapi entah apa, Shin belum mampu menyelami arti perubahan itu.
Dalam perjalanan pulang, mata Shin lebih banyak mengamati perubahan kota yang sudah sudah lima tahun ditinggalkannya ini. Macet yang tak pernah habis- habisnya membuatnya puas memperhatikan setiap sudut jalan yang dilewatinya. Matanya terus memperhatikan anak – anak jalanan yang semakin ramai menghiasi ibukota Jakarta. Di kotanya, Osaka, di negeri sakura sana, ia tak pernah melihat pemandangan seperti ini.
Ada ibu – ibu yang berjejer dengan anak – anak balitanya. Di depan mereka terdapat tempat dari botol aqua gelas bekas yang berisi beberapa keping uang receh. Ada lagi, bapak – bapak dengan kaki yang cacat, Dua orang anak kecil yang dekil sedang memainkan alat yang terbuat dari botol yang diisi dengan pasir mendekati jendela tempat duduk Shin. Shin memperhatikan wajah anak itu lebih seksama. Ya ampun, umur anak - anak itu kira – kira masih lima atau enam tahunan!.
“Kasihan, kasihan sekali..” gumam Shin lirih.
“Ya, dulu keadaannya masih belum separah ini, semakin lama semakin banyak yang datang ke ibu kota, tergiur dengan keindahan dan kesenangan yang hanya mereka lihat di tivi – tivi, padahal keadaannya nggak sesuai dengan dengan kenyataan yang sebenarnya. Penuh kekerasan dan persaingan. Ya, seperti inilah jadinya...”
“Where is their parent?”
“Orang tua mereka? Ada yang udah nggak punya orang tua, tapi ada yang masih punya. Tapi.. ya keadaan mereka sangat memprihatinkan dan kadang yang maksa anaknya untuk ngamen untuk mencukupi biaya hidup sehari – hari.”
“The government?”
“Ada usaha yang dilakukan pemerintah walaupun masih minim sekali, seperti pembuatan panti sosial dan tempat penampungan, di sana mereka diajarkan keterampilan.. tapi hanya sebagian kecil aja Shin yang betah di sana dan yang lainnya kabur..”
“Why?” Shin heran.
Indra mengangkat bahu, “Yaaa.. nggak tau, ada yang karena peraturannya yang mungkin ya menurut mereka agak ketat, ya.. ada juga karena nggak betah gara – gara di sana mereka harus bekerja, ya kalau di sini kan tinggal tadahkan tangan aja, tanpa harus kerja.”
“Berapa penghasilan mereka per hari?”
Lagi – lagi Indra mengangkat bahu, “Nggak tau juga, sebenarnya mereka bisa dapat banyak kalau mereka bekerja untuk diri mereka sendiri, tapi di sini kebanyakan mereka punya bos- boa atau genk-genk lagi, sebagian besar, bahkan ada yang harus menyetorkan semua uang yang mereka dapatkan.”
Percakapan meraka terhenti ketika seorang pengamen mengetuk kaca di samping Shin.
Indra memberikan selembar uang kepada Shin untuk diberikan kepada pengamen cilik yang ada tepat di samping jendela tempat Shin duduk. Shin-pun buru - buru ikut mengeluarkan selembar uang, lalu memberikan uangnya dan Indra kepada kedua pengamen cilik itu sebelum mobil bergerak meninggalkan kemacetan sudut ibu kota yang penuh derita itu. Hati Shin miris. Mendung mulai menyelimuti ibukota.

………………….

Di rumah Indra suasana sedang ramai saat Indra dan Shin tiba. Hal ini karena kedatangan keluarga dari ayah Indra dari Sawah Lunto, kampung halaman kakek Indra dari pihak ayahnya. Sebenarnya sih yang menginap di rumah Indra cuma beberapa orang saja, yaitu nenek, kakek, etek Mia dan uni Ade, sepupunya Indra yang orangnya super ceriwisnya kayak Ulfa Dwiyanti itu. Selebihnya sejak sore tadi sudah berangkat ke rumah dari keluarga ibunya, yang tak jauh dari sana menginap di sana. Tapi karena uni Ade tuh orangnya nggak bisa diam, Jadilah suasana menjelang makan malam, di ruang tengah itu ramai oleh celoteh – celoteh dalam bahasa yang cukup asing di telinga Shin. Bahasa Padang, yang membuat Shin melongo.
“ Ayolah Shin…tambah lagi.” Ujar bu Nur, ibu Indra kepada Shin.
“Iyo, makanlah, iko karipik yang niniek bawa dari kampuang, babuek surang, indak baboli do, lamak kan?” nenek Indra yang datang dari Padang menyodorkan seplastik kerupuk sanjai, keripik asli padang, kepada Shin.
Shin melongo. Nggak ngerti!.
“Maksud amak, ini keripik yang di bawanya dari kampung, dibikin sendiri, nggak beli, oishii?”. Terjemah ibu Nur ketika melihat kening Shin berkerut.
“Oh, oishii, eh, enak nek, tapi mungkin buat nanti aja setelah makan, sekarang Shin sudah kenyang, nanti takut nggak kuat lagi makan nasi nya” Jawab Shin. Tapi, nenek Indra yang sudah cukup lanjut usia itu tampaknya tak mengerti dengan ucapan Shin. Ia masih saja menyodorkan kripik itu kepada Shin.
“Lamak bu, tapi keceknyo untuak beko sajo, kini ko alah kanyang, takuik indak bisa makan nasi beko,” bu Nur menerjemahkannya dalam bahasa minang, barulah nenek Indra yang berumur hampir seabad itu mesem – mesem. Mengerti.
“Indra mana bu?” tanya Shin.
“Indra mungkin masih shalat Isya, mungkin sebentar lagi.”
Apa?? Sholat? Isya? Apa itu? Sepertinya pernah ia dengar dan baca waktu SMU dulu, tapi dimana? Ah, sudahlah, mungkin sebuah ritual sebelum pernikahannya. Pikir Shin. cuek.
“Bagaimana kabar orang tuamu? “
“Baik bu, sekarang papa dan mama sekarang sedang sibuk mengurusi perusahaan, biasa, Desember, end of the year...”
“O… syukurlah.”
“Urang gaek Shin tingga di ma? Asli ma?”. Uni Ade, , sepupu Indra, yang kebetulan sedang membawakan air minum ikut nimbrung. Uni Ade emang suka asal nyambung dan iseng orangnya. Jadi kalau dulu Indra pulang ke Padang, trus ketemu Uni Ade, pasti klop alias cocok. Cocok isengnya!. Shin memandang bu Nur. Minta ditranslate!.
“Katanya orang tuamu tinggal di mana? Dokkara kita-no?”
“O.. di Osaka, Jepang, dulu saya sempat tinggal lima tahun di sini..”. jawab Shin.
Uni Ade mengangguk – angguk.
“Oh.. aye kirain orang betawi juga, jadi aye tanyain pake bahasa padang, he .. he..”. ujar uni Ade sekarang dengan asal logat betawi, lalu ngeloyor kembali ke ruang makan, meninggalkan Shin, bu Nur, dan etek Mia, adik ibu Indra, yang masih melongo. Apa hubungannya betawi sama padang? Emang kalau betawi bisa ngerti bahasa Padang?. Asal deh..!.
“Bu, boleh saya bertanya?”.Tanya Shin.
“Ya…?”
“Kok Indra mau nikah secepat ini? Umurnya kan masih dua puluh dua.. then..”
“Then, how about his career?”. Sambung bu Nur, membaca pikiran Shin. Shin mengangguk.
“Kenapa Shin? Khawatir kalo kamu nikah sekarang, khawatir akan menghambat karirmu? Masih terlalu muda?”
Lagi - lagi Shin mengangguk.
“Shin, nggak ada istilah terlalu muda ataupun terlambat untuk memulai sesuatu yang baik. Kalau seseorang memang udah mampu untuk nikah, maka alangkah mulianya kalau ia menggenapkan diennya, yaitu dengan menikah.. yah, emang sih gajinya Indra nggak begitu tinggi, tapi Insya Allah.. untuk rizki itu urusan Allah dan Allah telah mengatur dengan seadil – adilnya untuk hamba-hamba-Nya.. yang penting usaha.. dimana ada usaha, disitu pasti ada jalan.”
Dien? Insya Allah? Apalagi itu? Allah, siapa? Kata- kata yang keluar dari mulut ibu Indra berterbangan di kepala Shin.
Tapi, hal itu hanya berlangsung beberapa detik, karena Indra muncul dan bergabung untuk makan malam. Sejenak hal itu terlupakan.
Seusai makan malam itu, Shin tak begitu banyak bertanya kepada Indra. Karena kata – kata yang tadi diucapkan oleh ibu Indra kembali melayang – layang di kepalanya. Ia kembali memikirkan kata – kata yang diucapkan bu Nur tadi, tentang pernikahan, Pencipta, termasuk tentang kain lebar yang menutupi rambut ibu separuh baya yang belum sempat ditanyakannya itu. Serentak kebencian semerbak di hati Shin. Bukan, bukan ibu Indra yang dibencinya, tapi kain lebar yang menutupi rambut wanita itu, Jilbab!. Ada kebencian yang begitu mendalam tiba – tiba hadir di hati Shin. Shin benci melihat jilbab itu!. Gara – gara kain itulah hatinya terluka, Shin benci, benci sekali!. Semuanya seakan berebut tempat di kepala Shin.
“Shin…” suara Indra mengagetkan Shin.
“Genki?” tanya Indra dengan bingung melihat Shin yang masih diam. Shin tersentak, “Eh, genki”.
“Kalau kamu punya masalah, kamu bisa cerita ke aku atau mama, jangan kebiasaan dipendam. Tell me about your problem.” Ujar Indra, menepuk pundak Shin.
“Shimpai shinai-de, I m fine. Aku mau istirahat dulu ya, nemui. good night. Malam bu, nek, kakek, sister. ” ucap Shin pelan.
“Sister? Emang ada yang namanya sister di sini?” Uni Ade nggak nyambung.
“Huss!! Sister itu dari bahasa Inggris, Indonesianya saudara perempuan. Makanya belajar dong De, biar nggak sekolah juga, biar tau”. Bu Nur menyahuti. Indra dan Shin hanya geleng – geleng kepala. Uni.. uni..
“Ok, Shin. sweet dreams.”
Shin mengangguk, lalu meninggalkan ruang makan menuju kamarnya. Shin tahu, Indra pasti akan membantunya jika ada masalah, tapi masalahnya justru ia sendiri bingung bagaimana mengungkapkannya ke Indra. Begitu banyak kata – kata yang memenuhi otaknya, begitu banyak hal yang tak dimengertinya, begitu perih luka hatinya, begitu.. ah, semuanya begitu membingungkan, dan cepat berubah!
Sementara itu, dari ruang makan Indra memandangi punggung sahabatnya yang menghilang dari kejauhan itu. Indra tahu ada sesuatu yang disembunyikan Shin darinya. Tapi ia juga tak bisa memaksa Shin. Indra tahu pasti sifat tertutup sahabatnya itu. Tapi, terus terang hati Indra masih was-was. Apakah Shin sudah menyadari semua perubahan yang terjadi pada dirinya? Bagaimana cara memberitahukannya kepada Shin? Semua perubahan ini? Bagaimana jika Shin benar – benar akan meninggalkannya nanti?
“Ya Allah,Seaindainya ia memang punya masalah yang tak bisa diceritakan, berikanlah petunjukmu dan penyelesaian yang terbaik untuknya, dan juga berikanlah kemudahan untuk dalam menjelaskan semua ini nanti, berikanlah petunjuk dan kefahaman, dan hidayah-Mu ya Allah kepada Shin, dan kelapangan dada dan kesabaran jika penjelasan hamba nanti berakibat buruk baginya dan tidak sesuai dengan apa yang hamba harapkan ya Allah..” doa Indra dalam hati.

………bersambung ke part 3………..
yg baca tulis comment y,thq

Tidak ada komentar:

Posting Komentar